KISAH RAMA BARGAWA

KISAH RAMA BARGAWARama Bargawa atau yang lebih dikenal dengan nama Rama Parasu merupakan salah satu tokoh dalam wayang purwa dan merupakan salah satu tokoh lintas batas. Selain dalam kisah wayang purwa, kisah Rama Bargawa ada juga di dalam cerita Ramayana dan Mahabarata.

Rama Bargawa adalah seorang brahmana atau pertapa sakti yang bertekad menjungkirbalikkan tata nilai dan anggapan masyarakat kala itu yang terlalu mengagungkan golongan ksatria. Bertahun-tahun Rama Bargawa berkelana mengelilingi dunia hanya untuk mencari perkara dan alasan agar dapat bermusuhan dengan para ksatria. Dan dengan kesaktian yang dimilikinya. ia berhasil membunuh banyak ksatria yang ditemuinya.

KISAH RAMA BARGAWA
Rama Bargawa

Nama Rama Bargawa diperolehnya karena ia merupakan keturunan Maharesi Bregu yang ternama. la juga dinamakan Rama Parasu. karena senjata andalannya adalah sebilah kapak. Parasu berarti kapak. Dengan kapak itu pula ia pernah membunuh ibunya. Rama Bargawa adalah seorang brahmacarya, tidak pernah kawin sepanjang hidupnya, sehingga ia tidak punya keturunan.

Berikut ini adalah kisah tentang Rama Bargawa.

Kisah Rama Bargawa

Maharesi Jamadagni adalah ayah Rama Bargawa. Jamadagni menikah dengan Dewi Renuka. seorang wanita yang amat cantik. Dari perkawinan iiu lahirlah lima orang anak lelaki. yaitu Rumawan, Susena. Wasu, Wiswawasu. dan Rama Bargawa.

Suatu hari. Dewi Renuka berbuat serong dengan Prabu Citrarata dari Kerajaan Martikawala. Meskipun penyelewengan ini dirahasiakan, karena ilmu tinggi yang dimilikinya, Begawan Janiadagni bisa tahu apa yang sudah terjadi. Segera dipanggilnya kelima anaknya, dan di hadapan mereka Dewi Renuka diminta mengakui perbuatan selingkuhnya.

Setelah wanita cantik itu memberikan pengakuan. Maharesi Jamadagni memerintahkan Rumawan, anaknya yang sulung, untuk membunuh ibunya sebagai hukuman atas perbuatan serongnya. Namun Si Sulung menolak. Begitu pula anak kedua, ketiga, dan keempat. semuanya menolak membunuh ibunya. Karena penolakan perintah itu mereka semua dikutuk Maharesi Jamadagni sehingga berubah akal (gila).

Anak kelima, Rama Bargawa. melaksanakan perintah ayahnya. Dengan senjata kapak miliknya. ia membunuh ibu yang melahirkannya. Setelah Dewi Renuka tewas. Maharesi Jamadagni berkata pada putra bungsunya:
“Rama Bargawa, anakku, karena engkau telah melaksanakan perintah ayahmu dengan baik. maka sekarang engkau boleh mengajukan lima permintaan. Apa pun permintaanmu. akan kupenuhi sedapat-dapatnya.”

Kesempatan itu digunakan oleh Rama Bargawa dengan sebaik-baiknya untuk mengajukan lima permintaan kepada ayahnya yaitu :
  1. Rama Bargawa minta agar ibunya dihidupkan kembali.
  2. Rama Bargawa minta agar semua dosanya akibat perbuatan membunuh ibunya bisa terhapus.
  3. Semua saudaranya yang kini telah menjadi gila bisa pulih seperti sediakala. 
  4. Rama Bargawa minta agar ibu, saudara-saudaranya. dan ia sendiri lupa akan segala kejadian yang baru saja mereka alami.
  5. Terakhir. Rama Bargawa minta agar ia memiliki kesaktian yang tak ada tandingnya sehingga tidak ada manusia di dunia ini yang sanggup melawannya.
Semua permintaan Rama Bargawa dikabulkan. kecuali yang terakhir. Maharesi Jamadagni mengatakan, Rama Bargawa akan menjadi brahmana sakti yang tidak tertandingi siapa pun kecuali oleh titisan Batara Wisnu.

Pertarungan Dengan Arjuna Sasrabahu

Beberapa tahun kemudian Maharesi Jamadagni dan seluruh keluarganya tewas dibunuh secara keji oleh putra-putra Prabu Arjunasasrabahu Raja Maespati. Pada saat peristiwa pembantaian itu terjadi Rama Bargawa sedang pergi berkelana di hutan.

Dan. betapa hancur hati Rama Bargawa ketika ia menyaksikan jenazah keluarganya. Sama sekali tidak diduganya. raja yang dihormati dan disanjung rakyat di seluruh negeri telah membiarkan perbuatan aniaya terhadap keluarganya. Saat itu juga Rama Bargawa bersumpah akan membalas kematian ayah ibu dan sekalian saudaranya.

Baca Juga : 

Akibat perbuatannya yang sewenang-wenang itu Batara Wisnu yang semula menitis pada Prabu Arjunasasrubahu meninggalkan badan wadak (jasmani) raja itu dan kembali ke kahyangan. Itulah sebabnya. Rama Bargawa kemudian bisa membalas kematian ayahnya itu dengan membunuh raja Maespati itu. Dengan Panah Bargawatra, Rama Bargawa memenangkan perang tanding di antara mereka berdua. Senjata Cakra yang dilepaskan Prabu Arjuna Sasrabahu. melesat jauh dari sasaran.

Namun kematian Prabu Arjuna Sasrabahu belum memuaskan dendam Rama Bargawa. la berlekad akan membunuh setiap ksatria yang ditemuinya. Baginya, golongan ksatria tidak pantas hidup di dunia ini karena menurut anggapannya kerja mereka hanya menindas kasta lain.

Sejak itu Rama Bargawa tidak pernah lagi menetap di satu tempat. la selalu berkelana. Bila berjumpa dengan ksatria siapa saja ia selalu mencari gara-gara sehingga mereka berkelahi dan kemudian Rama Bargawa membunuhnya.

Rama Bargawa Dan Bisma Dewabrata

Dalam berkelana, Rama Bargawa sempat beberapa kali mengajarkan berbagai ilmunya. Yang beruntung dapat berguru padanya di antaranya adalah Resi Bisma, Resi Drona, Resi Krepa dan Basukarna.

Dewabrata yang akhirnya lebih terkenal dengan nama Bisma adalah murid yang paling berhasil dalam mempelajari berbagai ilmu dari Rama Bargawa. Setelah seluruh ilmunya tuntas diajarkan. Rama Parasu memberi nama baru pada Dewabrata yakni Bisma yang artinya ‘hebat, luar biasa, mengagumkan, mengerikan’.

Rama Bargawa juga menganjurkan agar Dewabrata alias Bisma segera melepaskan pakaian ksairianya dan menggantinya dengan pakaian brahmana. Jika anjuran ini lidak dilaksanakan maka Bisma kelak akan mendapat kesulitan dengan wanita.

Anjuran gurunya itu tidak dilaksanakan oleh Bisnia. Kedudukannya sebagai panglima perang Kerajaan Astina tidak memungkinkannya mengenakan pakaian brahmana. Dan ramalan Rama Bargawa akhirnya terbukti. Bisma mendapat kesulitan dengan persoalan Dewi Amba salah seorang putri Kerajaan Giyantipura yang diboyongnya ke Astina guna dijodohkan dengan adiknya, Citranggada.

Menurut pewayangan, secara tak sengaja Bisma akhirnya membunuh Dewi Amba. Tetapi menurut Kitab Mahabarata, kematian Amba adalah akibat bunuh diri dengan menerjunkan diri ke dalam api unggun yang dibuatnya sendiri.

Sebelum nekad melakukan bunuh diri Dewi Amba sudah berusaha membunuh Bisma dengan cara meminta bantuan pada beberapa orang raja dan ksatria, namun mereka tidak berani menghadapi Bisma yang terkenal amat sakti.

Dewi Amba akhirnya menemui Rama Bargawa guru Bisma. Sesudah mendengar pengaduan Dewi Amba. brahmana sakti itu bertanya, apakah ketika memboyong Amba ke Astina Bisma mengenakan pakaian ksalria? Amba menjawab. “Ya” Rama Parasu menilai Bisma salah. Karenanya ia datang menjumpai bekas muridnya itu hendak menghukumnya. Namun dalam perang tanding di antara keduanya. Rama Bargawa ternyata tak mampu lagi menandingi kesaktian Bisma.

Kegagalan Rama Parasu membunuh Bisma inilah yang antara lain menyebahkan Dewi Amba putus asa dan kemudian bunuh diri. Demikian menurut Mahabarata.

Rama Bargawa Dan Narpati Basukarna

Murid Rama Burgawa yang terakhir. Basukarna menyaru sebagai brahmana agar diterima menjadi murid Rama Bargawa. Hal ini terpaksa dilakukan oleh Basukarna karena Rama Bargawa tidak bersedia menerima murid dari golongan ksatria. Namun. setelah banyak iimu yang ia pelajari. Rama Bargawa tahu bahwa Basukarna sebenarnya bukan brahmana. melainkan dari golongan ksatria.

Terbongkarnya rahasia penyamaran Basukarna karena kejadian yang sepele saja. Suatu ketika. karena terlalu lelah Rama Bargawa jatuh tertidur di pangkuan muridnya. Basukarna. Beberapa waktu setelah sang Guru tidur nyenyak, seekor kalajengking besar merayap ke bawah paha Basukarna yang dijadikan bantal oleh Rama Bargawa. Basukarna sekuat tenaga menahan rasa sakit akibat sengatan ketonggeng itu. la samasekali tidak bergerak walau disiksa rasa sakit yang amat sangat.

Ketika kemudian Rama Bargawa mengetahui apa yang terjadi, segera ia tahu hahwa Basukarna tentu bukan dari golongan brahmana. Hanya seorang ksatria utama sanggup menahan rasa sakit seperti itu. Rama Bargawa amat murka. la merasa ditipu. Karena itu brahmana sakti itu mengutuknya.
Kutukan itu adalah : kelak dalam perang Baratayuda pada situasi yang genting. Karna akan lupa segala ilmu yang telah diajarkannya.

Kematian Rama Bargawa

Mengenai kematian Rama Bargawa tidak jelas. Sedikitnya ada dua pendapat yang amat herbeda satu sama lain. Ada yang mengatakan Rama Bargawa tewas ketika berhadapan dengan Ramawijaya. Waktu itu. setelah menikah dengan Dewi Sinta. Rama beserta istri serta ayahnya. Prabu Dasarata pulang ke Ayodya. Mereka diiringi oleh prajurit pengawal yang cukup besar jumlahnya.

Dalam perjalanan. terjadi keributan. Rama Bargawa mencegat rombongan itu dan memporak-porandakan barisan prajurit Ayodya. Dengan beringas Rama Bargawa menantang Prabu Dasarata dan Ramawijaya.

Prabu Dasarata dengan lemah lembut mengatakan. tidak pantas bilamana Rama Bargawa yang sakti itu berperang tanding dengan anaknya yang belum berpengalaman. Namun Rama Bargawa tidak peduli. la tetap mendekati Ramawijaya dan siap menyerang. Melihat hal itu Ramawijaya lalu mengambil gendewanya. memasang anak panah. dan mengarahkannya pada lawannya.

Pada saat ini sadarlah Rama Bargawa bahwa ia berhadapan dengan titisan Wisnu, sebab selama ini tidak seorang pun sanggup mengarahkan senjata pada dirinya. Karena itu Rama Bargawa buru-buru minta maaf atas kelakuannya. dan pergi masuk ke rimba.

Sementara sebagian dalang menceritakan bahwa pada pencegatan ini terjadi perang tanding antara Ramawijaya dengan Rama Bargawa. Karena Rama Bargawa memang tidak mungkin bisa mengalahkan titisan Batara Wisnu, ketika itu juga Rama Bargawa tewas dan jiwanya merasuk menyatu dengan Ramawijaya.

Versi ketiga menyebutkan ketika Rama Bargawa dikalahkan Ramawijaya ia bukan mati melainkan moksa. Karena tingginya iimu yang dimilikinya, dan karena ia telah menjalani darma secara benar. Rama Bargawa diangkal derajatnya setaraf dengan para dewa. Itulah sebabnya, Rama Parasu alias Rama Bargawa dalam kedudukan sebagai dewa, bersama tiga dewa lainnya, masih tampil mengiringi kepergian Sri Kresna sebagai duta, pada masa menjelang Baratayuda. Ketiga dewa lainnya adalah Batara Narada, Batara Janaka, dan Batara Kanwa.

Demikian Kisah Rama Bargawa seorang Brahmana sakti yang kisahnya ada dalam cerita Ramayana dan Mahabharata. Jika anda mempunyai pandangan berbeda tentang tokoh Rama Bargawa ini, silahkan kasih komentar dibawah ini.

“Suro Diro Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti”

Invasi Lokapala dan Lahirnya Arjuna Sasrabahu

Pewayangan Indonesia – Kali ini akan menyajikan kisah wayang purwa yang berjudul “Invasi Lokapala dan Lahirnya Arjuna Sasrabahu”.  Kisah ini merupakan kelanjutan dari kisah sebelumnya yang berjudul “Ilmu Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu”, agar anda dapat memahami secara runut keseluruhan kisah ini sebaiknya anda membacanya terlebih dahulu.

Lokapala merupakan kerajaan tertua di dunia pewayangan yang dipimpin oleh Prabu Danaraja atau Danapati atau Wisrawana anak dari Resi Wisrawa yang mengundurkan diri menjadi seorang Brahmana dengan Dewi Lokawati. Danaraja adalah seorang pemuda gagah perkasa, pandai dalam olah keprajuritan dan sakti mandraguna.

Pada kisah sebelumnya yang berjudul Ilmu Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu, dikisahkan bahwa hubungan Prabu Danaraja dengan ayahnya, Resi Wisrawa, mengalami keretakan bahkan terjadi peperangan antara kerajaan Lokapala dengan Alengka Diraja.

Setelah Resi Wisrawa akhirnya gugur atau tewas di ujung pusaka Prabu Danaraja, maka perang antara ayah dan anak pun usai. Negeri Alengka menyerah dan tunduk di bawah panji Lokapala. Namun, meskipun demikian, Prabu Danaraja memberi kebijakan atas hak Alengka karena secara lahiriah Prabu Danaraja mengakui keberadaan para putra yang telah dilahirkan oleh dewi Sukesi dari benih ayahnya. Mereka masih saudara satu darah yang berarti adalah adik-adiknya sendiri.
Invasi Lokapala dan Lahirnya Arjuna Sasrabahu
Prabu Danaraja, sumber gambar : wayang indonesia
Danaraja pun berpikir tidak ada alasan untuk menghukum mereka, sebab mereka tidak pernah tahu dosa apa yang telah diperbuat oleh orang tua mereka. Maka dari itu, untuk sementara waktu Prabu Danaraja mengangkat Prahasta, adik Dewi Sukesi, sebagai dewan menteri yang mengatur pemerintahan hingga batas waktu yang telah ditetapkan, yaitu kelak setelah para putra Sukesi dan Wisrawa beranjak dewasa, maka pemerintahan negeri Alengka diserahkan kepada putra tertua mereka.

Ekspansi Militer Lokapala

Karena kegagalan cintanya terhadap Dewi Sukesi, membuat Prabu Danaraja menjadi seorang raja yang haus akan kekuasaan sehingga melakukan perluasan kerajaan atau ekspansi militer besar-besaran. Kerajaan yang tidak mau tunduk kepadanya akan dihancurkan dan puteri-puteri atau permaisuri raja yang ditaklukkan diboyong ke Lokapala.

Ekspansi militer Lokapala dilakukan terhadap negara-negara di belahan dunia pewayangan lainnya seperti negara Sinhala, Pandya, Malawa, Kerala, Chola, Sahya, Malyawat, Drawida, Kalingga, Kosala, Kekeya dan masih banyak lainnya. Banyaknya negara-negara yang bertekuk lutut dibawah panji Lokapala sehingga menjadikan nama Danaraja semakin terkenal dalam jaman keemasan Lokapala.

Suatu ketika Prabu Danaraja berkeinginan menyunting dewi Danuwati (dewi Hagnyawati), permaisuri Prabu Kertawirya di negara Maespati. Karena kegagalannya merebut Dewi Sukesi, membuat Danaraja tidak peduli lagi dengan norma-norma, dia tidak peduli apakah wanita yang disukainya itu masih sendiri atau sudah menjadi istri orang lain.  Siapapun yang disukainya harus menjadi miliknya.

Dan sangat kebetulan negara Maespati belum termasuk negeri jajahan Lokapala, jadi ada alasan bagi Danaraja untuk melakukan penyerangan terhadap Prabu Kertawirya bila raja Maespati itu jika menentang keinginannya.

Prabu Danaraja mengirim Gohmuka sebagai duta ke Maespasti. Gohmuka adalah salah seorang punggawa Lokapala berwujud raksasa yang telah dipercaya oleh Prabu Danaraja dalam menjalankan setiap tugasnya, menyerang dan menaklukan negara-negara yang kini menjadi bawahan dan sekutu Lokapala. Berbekal beberapa ratus prajurit Gohmuka berangkat ke Maespati.

Ekspansi Ke Maespati

Beberapa hari itu Prabu Kertawirya terlihat sangat gembira, karena hari-hari itu adalah hari penantian. Penantian terlahirnya seorang putra mahkota yang akan terlahir dari rahim seorang dewi yang sangat ia cintai, dewi Danuwati.

Sebagai seorang raja besar tentu Kertawirya sangat mendambakan seorang putra mahkota yang kelak akan menggantikan kedudukannya dikemudian hari untuk melanjutkan cita-cita para leluhurnya. Namun kegembiraan Kertawirya mendadak pudar ketika istananya kedatangan seorang duta dari negara yang sangat dikenal suka berperang, duta dari negeri Lokapala.

Tanpa tedeng eling (basa-basi) Gohmuka menyampaikan maksud kedatangannya ke Maespati. Atas nama Batara Lokapala, secara suka ataupun terpaksa ia akan memboyong dewi Danuwati ke Lokapala untuk dipersembahkan kepada rajanya, sebab Prabu Danaraja menginginkan sang dewi untuk dijadikan permaisuri.

Seperti mendengar petir disiang hari, Prabu Kertawirya sangat terkejut mendengar maksud dan tujuan Gohmuka. Apalagi ancaman Gohmuka terhadap dirinya, bahwa Maespati akan dijadikan lautan api apabila Prabu Kertawirya menolak keinginan Prabu Lokapala. Murkalah Prabu Kertawirya. Sudah pasti ia memilih mengangkat senjata daripada menyerahkan kehormatan dan harga dirinya begitu saja kepada orang lain.

Sebelum rajanya bertindak, dengan cepat patih Maespati, Mahapatih Gumiyat segera menyeret Gohmuka ke alun-alun istana. Terjadi pertempuran antara Gohmuka dengan Mahapatih Gumiyat. Hanya disertai beberapa ratus prajurit, Gohmuka mengadakan perlawanan. Ia menerjang ke palagan yuda menghadapi kekuatan Maespati.

Walau Gohmuka punggawa yang cukup terampil di medan perang, namun untuk menandingi Mahapatih Gumiyat dengan kekuatan prajuritnya, Gohmuka bukanlah apa-apa. Berkali-kali Gohmuka harus jatuh tersungkur ditimpa pukulan-pukulan sakti lawannya. Tidak ada perlawanan yang berarti dari punggawa Lokapala. Akhirnya, bersama dengan beberapa prajuritnya yang masih tersisa ia memutuskan untuk melarikan diri meninggalkan Maespati, kembali pulang ke negaranya untuk melaporkan peristiwa tersebut kepada Prabu Danaraja.

Sebagai seorang Batara yang diakui oleh raja-raja bawahannya, keinginan Prabu Danaraja pantang ditolak. Setelah mendengar laporan Gohmuka, Danaraja segera memerintahkan Mahapatih Wisnungkara untuk menyiapkan seluruh pasukan Lokapala. Maespati harus dijadikan lautan api.

Beberapa negara yang menjadi sekutunya ikut serta dalam penyerangan tersebut. Mereka bersatu di bawah bendera Lokapala, menyatukan seluruh bala tentara dan kekuatannya untuk membumi hanguskan Maespati. Puluhan ribu prajurit bersenjata Klewang, golok, pedang, tumbak, gondewa dan sebagainya melangkah berbaris berarak-arakan menuju negara Maespati.


Lahirnya Arjuna Sasrabahu

Sementara di Maespati, Prabu Kertawirya telah sadar akan datangnya bahaya maka ia telah bersiap-siap menyongsong datangnya musuh. Bersama Mahapatih Gumiyat, Prabu Kertawirya menyiapkan seluruh kekuatan Maespati. Sebenarnya ia mengakui kekuatan balatentara Lokapala yang cukup besar.

Negara besar yang dipimpin oleh raja muda sakti mandraguna putra seorang resi sakti yang banyak mendapat gemblengan ilmu olah keprajuritan, belum lagi dukungan dari negara-negara mancanegara yang telah menjadi sekutunya, tentu sangat sulit bagi Maespati untuk dapat memenangkan peperangan. Akan tetapi Prabu Kertawirya sudah bertekad mempertahankan kehormatan dan harga dirinya sebagai seorang raja. Lebih baik mati berkalang tanah daripada hidup terjajah.

Untuk menghadapi kekuatan besar Lokapala, Prabu Kertawirya meminta bantuan seorang resi sakti bernama Swandageni (Swandagni) dari pertapaan Ardisekar (Jatisarana). Resi Swandageni masih saudara dengan Prabu Kertawirya dari garis keturunan kakeknya, Resi Dewasana.

Pasukan Lokapala telah bergerak di tapal batas. Kedatangan mereka segera disambut dengan kekuatan angkatan perang Maespati yang dipimpin langsung oleh Prabu Kertawirya dengan didampingi Resi Swandageni dan Mahapatih Gumiyat (Begawan Kayat) adik Prabu Kertawirya.

Dua pasukan telah sama-sama mengusung senjata, perang pun beradu di medan yuda. Mereka saling serang, saling terjang, saling hantam, saling menusuk, sama-sama saling menghabisi nyawa lawannya.

Pasukan Lokapala memang telah teruji dalam setiap pertempuran, mereka telah ditempa dengan berbagai pengalaman perang. Terlebih lagi kekuatan Lokapala telah berlipat ganda karena didukung oleh sekutu-sekutunya yang selalu siap membantu.

Dilain pihak, kesaktian resi Swandageni telah memberi semangat tempur prajurit-prajurit Maespati. Putra resi Wisanggeni ini mampu menciptakan pasukan menjadi beberapa kali lipat kekuatan Maespati hingga pertempuran pasukan keduanya menjadi berimbang.

Mahapatih Wisnuwungkur, begawan raksasa sakti yang memiliki berbagai macam ilmu hitam dengan sangat licik ia menyipta binatang-binatang berbisa yang mematikan. Banyak prajurit Maespati berguguran ditangan ilmu hitam begawan Wisnuwungkur membuat resi Swandageni harus menghadapinya.
Sementara Prabu Kertawirya berhadapan langsung dengan Prabu Danaraja. Mahapatih Gumiyat menghadapi terjangan Gohmuka dan raja-raja sekutu Lokapala.

Prabu Kertawirya telah membuktikan sendiri kesaktian raja muda dari Lokapala itu. Ia memang sakti mandraguna, bahkan tidak bisa mati dengan berbagai macam senjata apapun yang digunakan Kertawirya untuk melawannya.

Beberapa kali senjata raja Maespati itu melukainya, beberapa kali itu pula raja Lokapala sembuh seperti sedia kala. Bahkan ketika pusakanya berkali-kali memenggal kepala Danaraja, beberapa kali pula raja Lokapala itu bangkit dari kematiannya. Danaraja seperti memiliki ribuan nyawa, Danaraja tidak bisa mati.

Mahapatih Gumiyat yang telah berhasil membunuh Gohmuka, melihat Prabu Kertawirya sedang dalam kesulitan menghadapi Danaraja yang telah mengeluarkan kesaktiannya hingga membuat Prabu Kertawirya berkali-kali harus terpelanting jatuh, maka Mahapatih Gumiyat segera mengejar dan membantu Prabu Kertawirya.

Pada saat bersamaan, ketika Mahapatih Gumiyat menyerang Prabu Danaraja, seorang prajurit Maespati memberi kabar kepada Prabu Kertawirya bahwa dewi Danuwati telah melahirkan seorang putra. Prabu Kertawirya sangat gembira.

Kalaupun ia nanti harus menanggung kekalahan dalam peperangan melawan Lokapala, tetapi tidak akan menyesal setelah melihat putra yang sangat dinantikannya. Begitu yang terpikir oleh Prabu Kertawirya, ia segera pergi meninggalkan medan perang untuk melihat putranya, sementara Prabu Danaraja sedang mengadu kesaktian dengan Mahapatih Gumiyat.

Di istana Maespati prabu Kertawirya menemui permaisurinya. Di samping istrinya kini telah tergolek bayi tampan rupawan. Dengan penuh bangga dan kasih sayang Prabu Kertawirya menimang putranya. Ia lalu memberinya nama Arjuna Wijaya  atau Arjuna Sasrabahu, pada saat itulah muncul Batara Narada.
Invasi Lokapala dan Lahirnya Arjuna Sasrabahu
Arjuna Sasrabahu, sumber gambar : wayang indonesia
Baca juga Kisah : Sumantri Ngenger
Batara Narada memberi tahu Kertawirya bahwa putranya adalah titsan Dewa Wisnu yang akan menghancurkan segala keangkara-murkaan di mayapada. Batara Narada lalu memberi sebuah pusaka bernama Cakra. Pusaka tersebut menurut Batara Narada adalah pusaka Wisnu yang akan mendampingi putranya dalam menumpas segala bentuk kejahatan. Prabu Kertawirya sangat gembira mendengar penuturan Batara Narada. Ia segera kembali menuju medan perang sambil membawa pusaka Cakra.

Prabu Kertawirya meminjamkan Cakra kepada Resi Swandageni. Dengan pusaka Cakra ditangan resi Swandageni, bala tentara Lokapala tercerai berai. Pusaka Cakra berkelebatan, gigi-gigi tajamnya membunuhi prajurit-prajurit Lokapala. Begawan Wisnuwungkur sendiri hancur lebur tubuhnya terkena pusaka Cakra. Raja-raja sekutu Lokapala berguguran terpenggal pusaka sakti itu.
gambar senjata cakra
Senjata Cakra, sumber gambar : wayang indonesia
Prabu Danaraja terkejut melihat pusaka Cakra dalam genggaman Resi Swandageni. Ia sangat maklum dengan pusaka sakti yang telah menggetarkan mayapada. Bukan hanya ditakuti oleh para raja-raja, kesatria ataupun brahmana, tetapi juga disegani oleh para dewa. Danaraja meragukan kesaktiannya menandingi pusaka Cakra, tetapi ia bertekad untuk berhadapan dengan pusaka sakti itu walau dengan mata kepalanya sendiri ia menyaksikan sebagian pasukannya telah hancur binasa oleh resi Swandageni dengan menggunakan pusaka Cakra ditangannya.

Setelah berhasil mengalahkan Mahapatih Gumiyat, dan pada saat-saat Danaraja ingin membunuhnya, tiba-tiba datang Batara Narada melerai menghalangi Danaraja. Batara Narada mengingatkan, bahwa telah banyak korban dari kedua belah pihak, terlebih dari pihak Lokapala. Raja-raja sekutu dan orang-orang kepercayaan Lokapala kini telah binasa. Itulah hasil dari peperangan yang ditimbulkan oleh nafsu angkara yang tidak bisa dikendalikan.

Batara Narada menyadarkan dan menasehati Danaraja, menyuruhnya kembali menjalani hidup yang lurus. Tidak ada manfaatnya gemar memamerkan kekuasaan dan kekuatan karena itu hanya akan menyengsarakan banyak pihak. Batara Narada menyarankan agar Prabu Danaraja menjalani penyucian diri, menebus segala dosa dan kesalahan yang telah diperbuatnya selama ini, sebab bagaimanapun ia adalah keturunan dari para resi sakti yang telah dijadikan panutan di mayapada.

Prabu Danaraja menuruti nasehat Batara Narada, ia segera menarik pasukannya dari wilayah Maespati kembali pulang ke negaranya. Dan selanjutnya, Prabu Danaraja melakukan tapa brata di tepi sungai gangga.

"Sura Dira Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti"

Ilmu Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu

Ilmu Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu - Kisah tentang ilmu “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu” ini merupakan salah satu kisah dalam Wayang Purwo atau kisah pewayangan dalam periode sebelum terjadinya kisah Ramayana. Dalam kisah ini juga diceritakan tentang lahirnya Dasamuka, Kumbakarna, Sarpakenaka dan Gunawan Wibisana yang dalam kelanjutannya menjadi tokoh-tokoh sentral dari kisah Ramayana.

Awal kisah berawal dari keinginan Dewi Sukesi, putri yang sangat cantik jelita, puteri dari seorang raksasa yaitu Prabu Sumali raja kerajaan Alengka Diraja, yang menginginkan seorang suami yang sakti mandraguna dan memahami ilmu kesempurnaan hidup atau ilmu “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu”.

Keinginan sang puteri dilandasi dua alasan, pertama, Dewi Sukesi menginginkan untuk memiliki keturunan seorang ksatria yang sempurna bukan seperti bangsa dan rakyat Alengka yang berwujud raksasa atau ‘buto’. Kedua, Prabu Sumali hendak menyingkirkan adiknya bernama Jambu Mangli, raksasa yang maha sakti yang ingin menggeser tahtanya dan mengawini keponakannya sendiri, Dewi Sukesi.

Sehingga Prabu Sumali lalu mengadakan sayembara yang berbunyi.

Barang siapa yang ingin mempersunting Dewi Sukesi, harus dapat memenuhi dua persyaratan yaitu bisa mengalahkan paman Dewi Sukesi, yaitu Jambu Mangli, seorang raksasa yang sangat sakti dan mampu menjabarkan ilmu “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu

Karena kecantikan dan kemolekan tubuh Dewi Sukesi yang sudah terkenal di dunia pewayangan maka banyak raja-raja, pangeran dan brahmana sakti yang ingin mempersuntingnya. Namun semuanya harus gagal dan pulang dengan kepala tertunduk bahkan pulang tinggal nama karena kalah menghadapi keperkasaan serta kesaktian Jambu Mangli.

Sayembara ini terdengar sampai ke  telinga Prabu Danarejo atau Danapati, raja kerajaan Lokapala yang masih belum memiliki permaisuri, kalau selir sudah banyak, namanya juga raja. Prabu Danarejo tertarik dan ingin mengikuti sayembara tersebut namun syarat kedua tentang ilmu “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu” membuatnya berfikir dua kali. Karena ia sendiri tidak menguasinya.

Namun karena keinginannya yang besar untuk dapat mempersunting Dewi Sukesi maka Prabu Donorejo minta bantuan ayahandanya, Begawan Wisrawa dari pertapaan Amulaya yang sakti mandraguna dan sudah menguasai ilmu tersebut. Sang Begawan menyanggupi dan berjanji akan menyerahkan Dewi Sukesi kepada anaknya.

Begawan Wisrawa Ingkar Janji

Begawan Wisrawa berangkat mengikuti sayembara tersebut dan berhasil mengalahkan Jambu Mangli yang perkasa. Namun ketika mengjarkan ilmu “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu” kepada Dewi Sukesi, beliau gagal dan tergoda oleh kemolekan tubuh dan kecantikan sang dewi demikian sebaliknya. Meskipun Begawan Wisrawa sudah tua namun dalam pandangan Dewi Sukesi terlihat tampan dan mempesona, sehingga terjadilah hubungan badan diantara keduanya.

Setelah kejadian itu, keduanya menjadi saling mencinta. Disinilah,Begawan Wisrawa mengalami  dilema dimana Dewi Sukesi hanya mau dipersunting oleh sang pemenang yaitu Begawan Wisrawa sendiri bukan Donopati, anaknya.
Ilmu Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu
Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi, sumber gambar : Hari Susilo
Semula Begawan Wisrawa berusaha meyakinkan kepada Dewi Sukesi bahwa keikutsertaannya dalam sayembara ini atas nama anaknya yang bernama Donopati, namun Dewi Sukesi tetap bersikukuh yang berhak menjadi suaminya adalah sang pemenangnya.

Dimata Begawan Wisrawa apa yang dikatakan oleh Dewi Sukesi adalah suatu kebenaran, dan Wisrawa juga mencintai dewi Sukesi yang cantik sebagaimana dewi Sukesi juga mencinta Begawan Wisrawa. Di sisi lain, Begawan Wisrawa telah berjanji kepada putranya bila nanti keluar sebagai pemenang akan menyerahkan Dewi Sukesi kepadanya.

Dalam menghadapi dilema ini, Begawan Wisrawa lebih memilih menjadi suami dewi Sukesi dan melanggar janji yang telah diucapkan kepada putranya. Begawan Wisrawa ingkar janji, ia telah menginjak-injak prinsip “bawa laksana” atau kesesuaian antara ucapan dan perbuatan, yang selama ini dijunjung oleh para raja, brahmana dan ksatria linuwih.

Akibatnya terjadilah perang besar antara Begawan Wisrawa dengan putranya sendiri, yaitu Donopati yang menyebabkan rakyat kedua Negara  banyak yang menderita karena perseteruan itu.

Rahasia Ilmu “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu

Ilmu “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu” adalah salah satu ilmu rahasia para dewata mengenai kehidupan di dunia. Secara lengkap disebut Serat Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwatingdiyu.

Serat artinya ajaran, Sastra Jendra atau sastra narendra adalah Ilmu mengenai raja. Hayuningrat  atau memayu hayuning bawana artinya menyebarkan kedamaian. Pangruwating artinya memuliakan atau merubah menjadi baik. Diyu artinya raksasa atau keburukan.

Raja disini bukan berarti raja secara harfiah  melainkan sifat yang harus dimiliki seorang manusia mampu menguasai hawa nafsu dan pancainderanya dari kejahatan, raja dari dirinya sendiri dan alam semesta. Seorang raja harus mampu menolak atau merubah keburukan menjadi kebaikan.

Pengertiannya bahwa Serat Sastrajendra adalah ajaran kebijaksanaan dan kebajikan yang harus dimiliki manusia untuk merubah keburukan mencapai kemuliaan dunia akhirat. Ilmu Sastrajendra adalah ilmu makrifat yang menekankan sifat amar ma’ruf nahi munkar, sifat memimpin dengan amanah dan mau berkorban demi kepentingan rakyat.

Sastra Jendra itu juga sebagai muara atau akhir dari segala pengetahuan. Raksasa dan Diyu, bahkan juga binatang yang berada dihutan belantara sekalipun kalau mengetahui arti Sastra Jendra akan diruwat oleh Batara, matinya nanti akan sempurna, nyawanya akan berkumpul kembali dengan manusia yang “linuwih” (mumpuni), sedang kalau manusia yang mengetahui arti dari Sastra Jendra nyawanya akan berkumpul dengan para Dewa yang mulia.

Karena begitu rahasianya ilmu ini, maka saat Begawan Wisrawa mengajarkannya kepada Dewi Sukesi maka para Dewa di Kahyangan menjadi gempar. Pertama kali, Betara Guru, raja para dewa mengutus Dewa Kamajaya dan Dewi Ratih, sepasang Dewa Asmara untuk menggagalkan peristiwa ini.

Dewa Kamajaya merasuk ke dalam tubuh Begawan Wisrawa dan Dewi Ratih masuk ke dalam tubuh Dewi Sukesi sehingga kedua mahluk ini terguncang jiwanya. Timbul rasa suka, rasa cinta dan keinginan untuk melakukan hubungan asmara.

Namun, Begawan Wisrawa adalah seorang yang sudah memiliki kemampuan batin yang tinggi sehingga ia dapat mengatasi perasaan ini meskipun harus bersusah payah terlebih dahulu mengatasi gejolak dalam dirinya. Kemudian ia harus menghadapi godaan dan cumbu rayu Dewi Sukesi yang sudah dipengaruhi dewi asmara. Kali ini keduanya berhasil mengatasi godaan tersebut.

Kegagalan sang dewa asmara membuat Bathara Guru harus turun tangan sendiri. Bersama istrinya, dewi Uma, mereka turun ke mayapada. Seperti yang dilakukan oleh sepasang dewa asmara, Bathara Guru masuk ke dalam tubuh Begawan Wisrawa sementara Dewi Uma masuk ke dalam tubuh Dewi Sukesi.

Maka Begawan Wisrawa tidak dapat lagi membendung hasrat berahinya  demikian pula dengan Dewi Sukesi. Bak gayung bersambut, keduanya lalu melakukan hubungan asmara yang membara layaknya sepasang suami istri.

Maka ilmu “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu“ gagal dijabarkan.

Lahirnya Dasamuka

Karena kegagalan ini, Begawan Wisrawa dan dewi Sukesi mendapatkan bebendu atau hukuman dari Dewa dengan melahirkan bayi raksasa yaitu Dasamuka atau Rahwana, Kumbakarna, dan Sarpakenaka. Dasamuka dan Sarpakenaka memiliki tubuh raksasa dan jiwa angkara murka mewakili watak “diyu” atau raksasa. Sedangkan Kumbakarna, meskipun bertubuh raksasa namun memiliki jiwa ksatria utama.

Karena terlahir akibat buah penjabaran ilmu rahasia yang memiliki daya kekuatan hebat maka ketiga raksasa itu memiliki kesaktian yang luar biasa. Bahkan Rahwana atau Dasamuka yang memiliki kesaktian paling tinggi nantinya  menjadi raja yang penuh angkara murka

Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi merasa terpukul sehingga mereka berdua bertobat dan memohon ampunan Dewata atas perbuatan yang telah mereka lakukan. Karena khusyuknya akhirnya mereka mendapatkan ampunan Dewata dan lahirlah putra yang keempat berwujud kstaria tampan dan berbudi luhur yang diberi nama Gunawan Wibisana.

gambar keturunan begawan wisrawa
Keturunan Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi
Baca Kelanjutannya : Invasi Lokapala dan Lahirnya Arjuna Sasrabahu

Kesimpulan

Ilmu Kesempuraan hidup atau ilmu rahasia hidup atau ilmu “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu“ adalah ilmu rahasia yang hanya boleh diajarkan atau dimiliki hanya dengan restu pemiliknya yaitu Sang Maha Hidup. 

Hanya dengan anugerah dan rahmatnya saja manusia sebagai mahluk dapat menerima dan memahaminya jika tidak maka kisah Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi akan terulang lagi. Akibat keinginan manusia sendiri atau nafsu yang terselubung kebaikan maka Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi gagal memahami  hakikat ilmu “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu.”

Sumantri Ngenger

Sumantri Ngenger - Kali ini Pewayangan Indonesia akan menceritakan kembali salah satu kisah wayang purwa atau kisah wayang pada masa sebelum kisah Ramayana dan Mahabharata yang berjudul “Sumantri Ngenger” atau “Sukrasana-Sumantri”. Ngenger dalam bahasa Jawa berarti mengabdi sehingga “Sumantri Ngenger” bisa diartikan sebagai Pengabdian Sumantri.

Kisah Sumantri Ngenger ini terjadi pada jaman Prabu Arjuna Sasrabahu, seorang Raja titisan dewa Wisnu, Raja kerajaan Maespati atau Mahespati.

Pengabdian Sumantri

Berawal dari keinginan Bambang Sumantri untuk mengabdi atau "ngenger" pada negara Maespati, maka Bambang Sumantri menghadap  ayahnya Resi Suwandagni di Pertapaan Arga Sekar untuk mohon doa restu. Begawan Suwandagni merestui puteranya, Bambang Sumantri pergi ke Mahespati.

Sosok Resi Swandagni adalah sosok begawan sakti yang pernah membantu kerajaan Maespati saat diserbu oleh Prabu Danaraja, Raja Lokapala dalam kisah "Invasi Lokapala dan Lahirnya Arjuna Sasrabahu".

Begawan Suwandagni mantap melepaskan Bambang Sumantri, puteranya, karena ia telah membekalinya dengan ilmu pengetahuan, ilmu pemerintahan, juga secara pisik sudah ditempa menjadi seorang perajurit yang dapat diandalkan. Sumantri juga memiliki senjata cakra pemberian dewa.

Keberangkatan Sumantri diketahui oleh adiknya, Sukrasana, seorang raksasa bajang yang wajahnya menakutkan. Meskipun buruk rupa, Sukrasana adalah seorang yang sakti, berbudi luhur dan sangat menyayangi kakak satu-satunya, Sumantri.

Sang Begawan pun telah meminta pada Sumantri agar mengajak adiknya, karena adiknya sedikit banyak bisa membantu Sumantri apabila ada kesulitan yang tak bisa diselesaikan oleh Sumantri. Tetapi Sumantri tidak mau mengajak adiknya, karena dirasa akan menghambat perjalanannya.

Sumantri Ngenger
Sukrasana dan Sumantri

Sumantri akhirnya pergi secara diam-diam, Sukasrana walaupun tidak boleh mengikuti kepergian kakaknya. Tetapi secara sembunyi-sembunyi, Sukrasana mengikuti kakaknya walau dari jarak jauh dibelakangnya.

Sesampai di istana Mahespati, Prabu Arjuna Sasrabahu dengan senang hati menerima Sumantri yang ingin mengabdikan diri pada Prabu Arjunasasrabahu dan negerinya Mahespati. Prabu Arjuna Sasrabahu., saat itu sedang jatuh hati dengan seorang puteri dari kerajaan Magada, Dewi Citrawati putri Prabu Citrawijaya.

Sumantri Duta Maespati

Sebagai syarat pengabdiannya, Prabu Arjuna Sasrabahu meminta Bambang Sumantri menjadi utusan pribadi dan Duta Resmi Negara Maespati untuk melamar serta memboyong Dewi Citrawati. Bambang Sumantri meyanggupinya, maka ia pun berangkat ke Kerajaan Magada.

Sumantri Ngenger
Prabu Arjuna Sasrabahu
Sementara itu di kerajaan Magada sedang menghadapi masalah dengan hadirnya raja 1000 negara yang ingin mempersunting Dewi Citrawati. Karena tidak ada kepastian dari Prabu Citrawijaya, untuk menentukan lamaran siapa yang akan diterima maka para raja dari 1000 negara mengepung Kerajaan Magada.

Kedatangan Bambang Sumantri sebagai duta resmi kerajaan Maespati menjadi solusi bagi permasalahan yang dihadapi oleh Prabu Citrawijaya dan Dewi Citrawati. Sementara, Dewi Citrawati sangat terpesona dengan kegagahan dan ketampanan Bambang Sumantri, ia telah jatuh hati. Namun, Dewi Citrawati tidak mengetahui pasti, keberadaan Bambang Sumantri di Magada, apakah atas nama dirinya, atau sekedar duta seorang raja untuk melamar dirinya.

Akhirnya diputuskan oleh Prabu Citrawijaya, bahwa para raja 1000 negara, yang masih ingin melamar Dewi Citrawati, harus mengikuti sayembara. Siapa saja yang dapat mengalahkan Bambang Sumantri, akan menjadi suami Dewi Citrawati.

Satu per satu, raja dari 1000 negara mengadu ilmu kesaktian melawan Bambang Sumantri. Dengan bekal kesaktian yang dimiliki, Sumantri dapat mengalahan para raja 1000 negara yang mengepung kerajaan Magada. Akhirnya Bambang Sumantri yang memenangkan sayembara Dewi Citrawati.

Sumantri Menemukan Titisan Wisnu

Bambang Sumantri kembali ke Mahespati dengan diiringi raja raja  negara 1000 negara yang telah ditaklukkan oleh Bambang Sumantri, pada waktu perebutan Dewi Citrawati, antara lain, Patih Kalinggapati, Prabu Candraketu,Prabu Sodha,dan Patih Handaka Sumekar.

Namun. Dewi Citrawati tidak mau diserahkan kepada Prabu Arjuna Sasrabahu dengan begitu saja. Dewi Citrawati bersedia menjadi istri Prabu Arjuna Sasrabahu, dengan syarat Prabu Arjuna Sasrabahu  bisa mengalahkan Bambang Sumantri terlebih dahulu seperti para raja 1000 negara.

Permintaan Dewi Citrawati dipenuhi oleh Prabu Arjuna Sasrabahu.

Arjuna Sasrabahu memberikan pakaian Kerajaan Mahespati untuk Bambang Sumantri. Mereka berpakaian raja raja. Sekarang terlihatllah ada dua orang raja yang sedang mengadu kekuatan. Arjuna Sasrabahu ingin persamaan derajat, antara dirinya dengan Bambang Sumantri, yang hanya seorang dari desa.

Kemudian terjadilah pertandingan kekuatan antara keduanya. Bambang Sumantri oleh Arjuna Sasrabahu diberi kesempatan  untuk mengalahkan dirinya terlebih dahulu. Kemudian ganti  Prabu Arjuna Sasrabahu menunjukkan kesaktiannya. Ia berubah menjadi brahala, raksasa sebesar  gunung anakan, menjadikan Bambang Sumantri terkejut.

Bambang Sumantri menyerah, menyerah bukan bukan karena kalah. Namun ia telah menemukan jati diri Prabu Arjuna Sasrabahu adalah titisan Dewa Wisnu, yang ia cari selama ini. Sejak dahulu Bambang Sumantri menginginkan bisa mengabdi pada keturunan Dewa Wisnu.

Bantuan Sukrasana

Setelah mengetahui kemenangan Prabu Arjuna Sasrabahu, maka Dewi  Citrawati mengajukan syarat lagi yaitu meminta Puteri Domas yang terdiri dari para bidadari dari Kahyangan sebagai pengiring pengantin, dan memindahkan taman Sriwedari dari Kayangan Untarasegara ke Maespati.

Prabu Arjunasasrabahu sekali lagi meminta kepada Bambang Sumantri untuk dapat melaksanakan permintaan Dewi Citrawati. Bambang Sumantri meninggalkan istana, guna memenuhi permintaan Prabu Arjuna Sasrabahu.

Ditengah perjalanan, Bambang Sumantri berhenti, ia tidak tahu harus berbuat apa, untuk mendapatkan permintaan Dewi Citrawati.  Tiba tiba ia seperti mendengar suara adiknya, Sukrasana. Bambang Sumantri terperanjat melihat Sukrasana mendekatinya. Bambang Sukasrana berjanji, akan membantu kakaknya, Bambang Sumantri. Dimintanya kakaknya pulang saja, kenmbali ke Mahespati.

Bambang Sukrasana segera mencari tempat untuk bersemadi. Tiba tiba Bambang Sukasrana tidak terlihat lagi dari pandangan kakaknya, Sumantri, Bambang Sumantri bergegas pulang ke Istana Mahespati,

Sesampai di Istana Mahespati, ternyata bertepatan datangnya Puteri Domas yang terdiri dari 100 orang bidadari, yang wajah dan badannya semua sama, dan turun juga dari angkasa taman Sriwedari dari Untarasegara. Bambang Sumantri merasa lega, karena dengan bantuan adiknya, maka semua permintaan Dewi Citrawati dapat dilaksanakan.

Tumbal Keberhasilan Sumantri

Prabu Arjuna Sasrabahu merasa senang, melihat keberhasilan Bambang Sumantri telah mendapatkan apa yang diinginkan Dewi Citrawati.  Mengingat jasa jasanya, maka Bambang Sumantri diangkat menjadi Patih Kerajaan Mahespati, dengan gelar Patih Suwanda.

Pengangkatan Bambang Sumanteri menjadi patih Mahespati di lakukan di balairung Istana Mahespati di hadapan para nayaka, sentana, para manteri dan Bupati. Juga didepan raja raja 1000 negara. Bambang Sumantri merasa tidak mantap dengan pemberian jabatan ini, karena Bambang Sumantri tidak melakukan apa apa. Keberhasilannya karena bantuan adiknya.

Sementara itu di taman kaputren, para istri Arjuna Sasrabahu, ketakutan karena melihat sesuatu yang mengerikan. Maka Arjuna Sasrabahu, minta agar Patih Suwanda menyelesaikan masalah ini. Bambang Sumantri, terkejut ketika yang menjadi pokok persoalan, adalah adiknya, Sukrasana.

Bambang Sukrasana ketiduran di taman Sriwedari, mungkin karena capek setelah memindahkan taman dari Untarasegara  ke Mahespati. Sumantri membangunkan adiknya lalu disuruhnya pergi dari taman. Namun Bambang Sukrasana, tidak mau berpisah lagi dengan Bambang Sumantri sehingga ia tidak mau pergi.

Karena kesal, Bambang Sumantri lalu menakut-nakuti adiknya dengan pura-pura akan memanah adiknya. Tetapi, seperti ada setan lewat, anak panah yang diarahkan kepada adiknya, terlepas dari busurnya dan melesat tepat mengenai dada adiknya. Bambang Sukrasana, langsung tewas.

Bambang Sumantri sangat menyesal dan menangisi kematian adiknya. Prabu Arjuna Sasrabahu yang mengetahui persitiwa ini, sangat menyayangkan pada tindakan yang dilakukan oleh Sumantri. Mengapa ia tidak memberitahukan saja pada Prabu Arjuna Sasrabahu, kalau yang ditakuti para istrinya, sebenarnya adalah adik Bambang Sumantri sendiri. Andaikan tahu sebelumnya, Prabu Arjuna Sasrabahu, pasti akan mengijinkan adik Bambang Sumantri tinggal didalam taman Mahespati.

Bambang Sumantri merasa menyesal dan berdosa besar pada adiknya, Bambang Sukrasana. Penyesalan biasanya datang kemudian, sekarang hanya satu keinginan Sumantri, yaitu mati, agar bisa bersama lagi dengan adiknya, Bambang Sukrasana.

Memetik Buah Perbuatan

Sementara itu, Dewi Citrawati selalu saja memiliki permintaan yang aneh. Sekarang Ia ingin mandi di sebuah telaga Minangkalbu yang airnya bening bersama para selir dan tentu saja Prabu Arjuna Sasrabahu diminta  menyertainya pula.

Prabu Arjuna Sasra mandi ditelaga beserta para istrinya. Citrawati minta agar air sungai Minangsraya dibendung, supaya menambah air telaga tempat mandi mereka. Dengan kesaktiannya prabu Arjuna Sasra bahu, tiwikrama atau berubah menjadi raksasa sebesar gunung anakan lalu tidur membendung sungai.

Sungai Minangsaya terbendung, air telaga meluap dan airnya membuat banjir istana Prabu Dasamuka. Prabu Dasamuka mengirim telik sandi ke Mahespati. Ditya Kala Marica berangkat untuk melihat apa yang terjadi. Ditya Kala Marica melihat, bahwa banjir kali ini, bukan banjir karena alam, namun karena ulah Prabu Arjuna Sasrabahu bersama seluruh istrinya.

Prabu Dasamuka marah lalu dengan kekuatan penuh  menyerang Mahespati. Prabu Dasamuka dihadang dan mendapat perlawanan dari Patih Suwanda. Patih Suwanda atau Sumantri sangat terkejut ketika melihat pada gigi taring Prabu Dasamuka, nampak bayangan adiknya, Sukrasana, melambaikan tangannya, seolah olah memanggilnya. Patih Suwanda atau Bambang Sumantri ketakutan lalu mengundurkan diri dari peperangan.

Sumantri Ngenger
Dasamuka
Sepeninggal Patih Suwanda, peperangan diteruskan oleh para raja 1000 negara. Sementara Prabu Dasamuka melawan raja raja 1000 negara, Patih Suwanda masuk kedalam sanggar pamujan dengan berpakaian putih bagai seorang Brahmana, Saat Bambang Sumantri sedang berdoa memohon perlindungan dewa, seluruh raja 1000 negara  mati terbunuh ditangan Prabu Dasamuka.

Melihat keadaan itu Patih Suwanda, yang sudah memakai baju putih, terkejut lalu segera mengejar Prabu Dasamuka yang sedang berusaha mendekati Prabu Arjuna Sasrabahu yang sedang bersenang senang dengan Dewi Citrawati.

Tujuan Prabu Dasamuka ke Mahespati yang semula  hanya karena banjirnya Alengka tetapi sekarang ia juga ingin merebut Dewi Citrawati dari tangan Prabu Arjuna Sasrabahu, karena Dewi Citrawati adalah titisan Dewi Widawati, pujaan hatinya.

Maka terjadiah perkelahian antara pasukan Dasamuka dan Patih Suwanda dengan pasukannya pula. Patih Suwanda tiba tiba melihat wajah Prabu Dasamuka seperti wajah adiknya, Bambang Sukasrana.

Sewaktu perkelahian Prabu Dasamuka dan Patih Suwanda masih berlangsung. Karena bayangan adiknya, Sukrasana, menjadikan ia lengah. Dengan mudah Prabu Dasamuka menghantamkan gada pusakanya ke kepala Patih Suwanda. Seketika itu juga Patih Suwanda tewas.

Sukma Bambang Sumantri bertemu dengan sukma Bambang Sukrasana. Keduanya berjalan seiring bersama menuju ke nirwana.

Pesan Moral

Kisah “Sumantri Ngenger” ini memberikan pelajaran kepada kita tentang besarnya pengabdian Sumantri kepada raja dan negaranya sampai-sampai harus mengorbankan adiknya yang sangat menyayangi kakaknya. Meskipun Sumantri menyesali perbuatannya, ia harus memetik buah dari perbuatannya.

Walaupun Sukrasana adalah seorang raksasa bajang yang buruk rupa namun ia adalah mahluk Tuhan yang dengan tulus menyayangi saudaranya bahkan rela melakukan apa saja demi kebahagiaan kakaknya. Maka melalui Dasamuka, Sukrasana menjemput kakaknya, Sumantri, untuk bersama-sama menuju swargaloka.

Ini sudah menjadi ketentuan Dewata sehingga ketika Prabu Arjuna Sasrabahu mencoba menghidupkan kembali orang-orangnya melalui Begawan Pulasta, kakek Dasamuka, hanya Sumantri yang tidak bisa dihidupkan lagi.

Mahabharata : Epos Terbesar Sepanjang Masa Bagian II

Mahabharata : Epos Terbesar Sepanjang Masa Bagian II - Apabila selama ini kita mengira bahwa kisah Ramayana dan Mahabarata hanyalah milik orang India atau Indonesia atau bangsa Asia saja ternyata dugaan itu salah. Epos Ramayana dan Mahabharata telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa di dunia seperti Inggris, Perancis, Jerman, Rusia, Turki dan lain-lain sehingga epos-epos tersebut sudah menjadi kekayaan sastra dunia.

Seperti telah dijelaskan pada artikel sebelumnya, kisah Mahabharata sebagai Epos Terbesar Sepanjang Masa, mengalami tambahan-tambahan dari berbagai pengarang-penyair dari masa ke masa. Namun demikian, inti pokok uraiannya tidak perlu diragukan merupakan basis kenyataan-kenyataan dalam tradisi Hindu di jaman dahulu.
Mahabharata : Epos Terbesar Sepanjang Masa Bagian II
Bharata Yuda, Gambar : Kwikku
Kisah Mahabharata suatu Epos Terbesar Sepanjang Masa, dalam bentuknya yang sekarang, jika dibaca secara keseluruhan, mengandung berbagai dongeng, legenda (purana), mitos, falsafah, sejarah (itihasa), kosmologi, geografi, geneologi, dan sebagainya.

Karena banyaknya tambahan di sana-sini, maka epos Mahabharata ini juga dipandang sebagai puisi berisi ajaran kebajikan yang ditulis dalam metrum India (kavya), sebagai sloka yang berisi ajaran budi pekerti (sastra), atau sebagai kitab yang berisi sejarah, ilmu pengetahuan dan ajaran lain (sruti). Ringkasnya, Mahabharata juga bisa dianggap sebagai semacam ensiklopedia.

Dalam bentuknya yang kita kenal sekarang, epos Mahabharata adalah naskah yang lebih besar dibandingkan kitab-kitab suci Weda. Menurut Prof. Heinrich Zimmer, isi Mahabharata delapan kali lebih besar daripada Odyssey and Illiad.

Berbagai manuskrip tersebar dari Timur Tengah sampai Indonesia (Bali) dalam berbagai macam bahasa, antara lain: bahasa Nepali, Maithili, Bengali, Dewanagari, Telegu, Grantha dan Malayalam.

Naskah yang lebih muda kita dapati dalam bahasa Jawa Kuno (abad X), bahasa Kashmir (abad XI) dan bahasa Persia (di masa pemerintahan Akbar). Epos Ramayana danMahabharata dengan ekspresi yang lain di Indonesia ditulis dalam bahasa Jawa Kuno.

Sebagai contoh, Ramayana dan Mahabharata secara ringkas telah disusun di Jawa Timur dalam bentuk yang disebut kakawin. Beberapa kakawin yang dikenal luas adalah Ramayana, Bharatayudha,Arjunawiwaha atau Smaradahana. Kakawin-kakawin tersebut sesungguhnya bukan salinan dari karya asalnya.

Selanjutnya, secara verbal serta khas kakawin-kakawin tersebut divisualkan dalam bentuk drama/teater atau wayang yang pelaku-pelaku utamanya diambil dari epos Ramayana dan Mahabharata (misalnya Rama, Kurawa dan Pandawa) dan dilengkapi dengan tokoh-tokoh sejarah dan kesusastraan tradisional, serta tokoh-tokoh lain yang diambil dari mitos daerah di Indonesia.

The Russian Academy di Moskow telah menerbitkan terjemahan Adiparwa atau buku pertama epos Mahabharata dalam bahasa Rusia di masa Perang Dunia II. Episode dan bagian-bagian tertentu epos Mahabharata juga diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis, Inggris dan Jerman.

18 Parwa Mahabharata

Dalam Aswalayana Srautasutra disebutkan bahwa epos Mahabharata versi awal terdiri dari 24.000 sloka. Versi tersebut terus berkembang hingga dalam bentuknya yang sekarang terdiri dari 100.000 sloka. Di bawah ini disajikan ringkasan dari delapan belas buku (parwa) epos Mahabharata:

1. Adiparwa (Buku Pengantar)

Memuat asal-usul dan sejarah keturunan keluarga Kaurawa dan Pandawa; kelahiran, watak, dan sifat Dritarastra dan Pandu, juga anak-anak mereka; timbulnya permusuhan dan pertentangan di antara dua saudara sepupu, yaitu Kurawa dan Pandawa; dan berhasilnya Pandawa memenangkan Dewi Drupadi, putri kerajaan Panchala, dalam suatu sayembara.

2.  Sabhaparwa (Buku Persidangan)

Melukiskan persidangan antara kedua putra mahkota Kaurawa dan Pandawa; kalahnya Yudhistira dalam permainan dadu, dan pembuangan Pandawa ke hutan.

3.    Wanaparwa (Buku Pengembaraan di Hutan)

Menceritakan kehidupan Pandawa dalam pengembaraan di hutan Kamyaka. Buku ini buku terpanjang; antara lain memuat episode kisah Nala dan Damayanti dan pokokpokok cerita Ramayana.

4.    Wirataparwa (Buku Pandawa di Negeri Wirata)

Mengisahkan kehidupan Pandawa dalam penyamaran selama setahun di Negeri Wirata, yaitu pada tahun ketiga belas masa pembuangan mereka.

5.    Udyogaparwa (Buku Usaha dan Persiapan)

Memuat usaha dan persiapan Kurawa dan Pandawa untuk menghadapi perang besar di padang Kurukshetra.

6.    Bhismaparwa (Buku Mahasenapati Bhisma)

Menggambarkan bagaimana balatentara Kurawa di bawah pimpinan Mahasenapati Bhisma bertempur melawan musuh-musuh mereka.

7.    Dronaparwa (Buku Mahasenapati Drona)

Menceritakan berbagai pertempuran, strategi dan taktik yang digunakan oleh balatentara Kaurawa di bawah pimpinan Mahasenapati Drona untuk melawan balatentara Pandawa.

8.    Karnaparwa (Buku Mahasenapati Karna)

Menceritakan peperangan di medan Kurukshetra ketika Karna menjadi mahasenapati balatentara Kaurawa sampai gugurnya Karna di tangan Arjuna.

9.    Salyaparwa (Buku Mahasenapati Salya)

Menceritakan bagaimana Salya sebagai mahasenapati balatentara Kaurawa yang terakhir memimpin pertempuran dan bagaimana Duryodhana terluka berat diserang musuhnya dan kemudian gugur.

10.    Sauptikaparwa (Buku Penyerbuan di Waktu Malam)

Menggambarkan penyerbuan dan pembakaran perkemahan Pandawa di malam hari oleh tiga kesatria Kurawa.

11.    Striparwa (Buku Janda)

Menceritakan tentang banyaknya janda dari kedua belah pihak yang bersama dengan Dewi Gandhari, permaisuri Raja Dritarastra, berdukacita karena kematian suami-suami mereka di medan perang.

12.    Shantiparwa (Buku Kedamaian Jiwa)

Berisi ajaranajaran Bhisma kepada Yudhistira mengenai moral dan tugas kewajiban seorang raja dengan maksud untuk memberi ketenangan jiwa kepada kesatria itu dalam menghadapi kemusnahan bangsanya.

13.    Anusasanaparwa (Buku Ajaran)

Berisi lanjutan ajaran dan nasihat Bhisma kepada Yudhistira dan berpulangnya Bhisma ke surgaloka.

14.    Aswamedhikaparwa (Buku Aswamedha)

Menggambarkan jalannya upacara Aswamedha dan bagaimana Yudhistira dianugerahi gelar Maharaja Diraja.

15.    Asramaparwa (Buku Pertapaan)

Menampilkan kisah semadi Raja Dritarastra, Dewi Gandhari dan Dewi Kunti di hutan dan kebakaran hutan yang memusnahkan ketiga orang itu.

16.    Mausalaparwa (Buku Senjata Gada)

Menggambarkan kembalinya Balarama dan Krishna ke alam baka, tenggelamnya Negeri Dwaraka ke dasar samudera, dan musnahnya bangsa Yadawa karena mereka saling membunuh dengan senjata gada ajaib.

17.    Mahaprashthanikaparwa (Buku Perjalanan Suci)

Menceritakan bagaimana Yudhistira meninggalkan takhta kerajaan dan menyerahkan singgasananya kepada Parikeshit, cucu Arjuna, dan bagaimana Pandawa melakukan perjalanan suci ke puncak Himalaya untuk menghadap Batara Indra.

18.    Swargarohanaparwa (Buku Naik ke Surga)

Menceritakan bagaimana Yudhistira, Bhima, Arjuna, Nakula, Sahadewa dan Draupadi sampai di pintu gerbang surga, dan bagaimana ujian serta cobaan terakhir harus dihadapi Yudhistira sebelum ia memasuki surga.

Selain delapan belas parwa tersebut, sebuah suplemen yang disebut Hariwangsa ditambahkan kemudian. Suplemen ini memuat asal-usul kelahiran dan sejarah kehidupan Krishna secara panjang lebar. Tetapi berdasarkan penelitian, buku ini ternyata mengacu pada data yang masanya jauh sekali dari masa kehadiran parwa-parwa itu.

Dilihat dari segi kesusastraan, epos Mahabharata memiliki sifat-sifat dramatis. Tokoh-tokohnya seolah-olah nyata karena perwatakan mereka digambarkan dengan sangat hidup, konflik antara aksi dan reaksi yang berkelanjutan akhirnya selalu mencapai penyelesaian dalam bentuk kebajikan yang harmonis.

Kesimpulan

Nafsu melawan nafsu merupakan kritik terhadap hidup, kebiasaan, tatacara dan cita-cita yang berubah-ubah. Dasar-dasar moral, kewajiban dan kebenaran disampaikan secara tegas dan jelas dalam buku ini. Menurut Mahatma Gandhi, konflik abadi yang ada dalam jiwa kita diuraikan dan dicontohkan dengan sangat jelas dan membuat kita berpikir bahwa semua tindakan yang dilukiskan di dalam Mahabharata seolaholah benar-benar dilakukan oleh manusia.

Pentingnya epos Mahabharata dapat kita ketahui dari peranan yang telah dimainkannya dalam kehidupan manusia.

Lima belas abad lamanya Mahabharata memainkan peranannya dan dalam bentuknya yang sekarang epos ini menyediakan kata-kata mutiara untuk persembahyangan dan meditasi; untuk drama dan hiburan; untuk sumber inspirasi penciptaan lukisan dan nyanyian, menyediakan imajinasi puitis untuk petuah-petuah dan impian-impian, dan menyajikan suatu pola kehidupan bagi manusia yang mendiami negeri-negeri yang terbentang dari Lembah Kashmir sampai Pulau Bali di negeri tropis.

Epos Mahabharata telah meletakkan doktrin dharma yang menyatakan bahwa kebenaran bukan hanya milik satu golongan dan bahwa ada banyak jalan serta cara untuk melihat atau mencapai kebenaran karena adanya toleransi.

Epos Mahabharata mengajarkan bahwa kesejahteraan sosial harus ditujukan bagi seluruh dunia dan setiap orang harus berjuang untuk mewujudkannya tanpa mendahulukan kepentingan pribadi. Itulah dharma yang diungkapkan epos Mahabharata sebagai sumber kekayaan rohani atau dharmasastra.

Sumber : Nyoman S. Pendit

Mahabharata : Epos Terbesar Sepanjang Masa

Mahabharata : Epos Terbesar Sepanjang Masa - Dalam kesusastraan Indonesia kuna kita mengenal dua epos besar, yaitu Ramayana dan Mahabharata, yang pada awalnya ditulis dalam bahasa Sanskerta. Mahabharata berasal dari kata maha yang berarti ‘besar’ dan kata bharata yang berarti ‘bangsa Bharata’. Pujangga Panini menyebut Mahabharata sebagai “Kisah Pertempuran Besar Bangsa Bharata”.

Kisah yang diceritakan dalam epos Mahabharata sebagai Epos Terbesar Sepanjang Masa adalah konflik atau pertentangan antara dua saudara sepupu yaitu Kurawa dan Pandawa, yang berkembang menjadi suatu perang besar dan menyebabkan musnahnya bangsa bharata yang juga disebut bangsa Kuru.

Sudah sejak lama orang mengenal kisah Mahabharata yang merupakan Epos Terbesar Sepanjang Masa. Para pecinta karya sastra mengenalnya dari berbagai sumber tulisan berupa naskah-naskah kuno. Dalam perjalanan panjang Mahabharata, semenjak diciptakan sekian ratus tahun yang lalu hingga kini, telah berkembang berbagai versi yang tersaji dalam bahasa yang indah dan sarat dengan pesan moral.
Mahabharata : Epos Terbesar Sepanjang Masa
Padang Kurusetra

Di Indonesia, kisah Mahabharata dikenal oleh masyarakatnya melalui berbagai media seperti cerita bersambung di Koran atau tabloid, pertunjukan wayang orang atau wayang kulit dan yang sangat terkenal adalah tayangan kisah Mahabharata dari India melalui stasiun televisi ANTV.

Tayangan ini menjadi tontonan yang sangat populer di Indonesia, hampir semua orang mulai dari anak-anak maupun orang dewasa tidak memandang suku dan agama, dalam kesibukannya mereka menyempatkan diri untuk menonton tayangan ini.

Berikut ini saya tuliskan kembali ringkasan cerita Mahabharata yang saya ambil dari berbagai sumber, salah satunya adalah novel “Mahabharata” karya Nyoman S. Pendit kemudian akan diceritakan kembali secara detail pada artikel-artikel berikutnya.

Ringkasan Cerita

Diceritakan ada dua bersaudara putra seorang maharaja, yaitu Drestarata dan Pandu Dewanata. Drestarata, si putra sulung, terlahir buta. Karena cacat, menurut kepercayaan Hindu ia tidak bisa dinobatkan menjadi raja menggantikan ayahnya. Sebagai gantinya, Pandu si putra bungsu dinobatkan nenjadi raja.

Drestarata mempunyai 100 putra yang dikenal sebagai Kurawa, sedangkan Pandu mempunyai lima putra yang dikenal sebagai Pandawa. Kelima Pandawa itu adalah Yudhistira, Bhima, Arjuna, Nakula dan Sahadewa. Raja Pandu meninggal dalam usia yang masih muda, ketika anak-anaknya belum dewasa. Oleh sebab itu, meskipun buta, Drestarata diangkat menjadi raja, mewakili putra-putra Pandu.

Drestarata membesarkan anak-anaknya sendiri dan Pandawa, kemenakannya. Ia dibantu Bhisma, paman tirinya. Ketika anak-anak itu sudah cukup besar, Bhisma menyerahkan mereka semua kepada Mahaguru Drona untuk dididik dan diberi ajaran berbagai ilmu pengetahuan dan ilmu keprajuritan yang harus dikuasai putra-putra bangsawan atau kesatria.

Setelah para kesatria itu selesai belajar dan menginjak usia dewasa, Drestarata menobatkan Yudhistira, Pandawa yang sulung, sebagai raja. Kebijaksanaan dan kebajikan Yudhistira dalam memerintah kerajaan membuat anak-anak Drestarata, terutama Duryodhana putra sulungnya, dengki dan iri hati.

Duryodhana bersahabat dengan Karna, anak sais kereta yang sebenarnya putra sulung Kunti, ibu Pandawa, yang terlahir sebelum putri itu menjadi permaisuri Pandu. Sejak semula Karna selalu memusuhi Arjuna. Permusuhan Karna dengan Pandawa diperuncing karena persekutuannya dengan Sengkuni.

Bale Sigala gala

Kedengkian dan iri hati Kurawa terhadap Pandawa makin mendalam. Kurawa menyusun rencana untuk membunuh Pandawa dengan membakar mereka hidup-hidup ketika para sepupu mereka sedang beristirahat dalam istana yang sengaja dibuat dari papan kayu.

Pandawa berhasil menyelamatkan diri dan lari ke hutan berkat pesan rahasia Widura kepada Yudhistira, jauh sebelum peristiwa pembakaran terjadi.

Sayembara Drupadi

Kehidupan yang berat selama mengembara di hutan membuat Pandawa menjadi kesatria-kesatria yang tahan uji dan kuat menghadapi segala marabahaya dan kepahitan hidup. Pada suatu hari, mereka mendengar tentang sayembara yang diadakan oleh Raja Drupada dari Negeri Panchala untuk mencarikan suami bagi Dewi Drupadi, putrinya yang terkenal cantik, bijaksana dan berbudi halus.

Sayembara itu diselenggarakan dengan megah dan meriah. Banyak sekali putra mahkota dari berbagai negeri datang untuk mengadu nasib. Tak satu pun dari para putra mahkota yang semuanya gagah perkasa itu berhasil memenangkan sayembara. Tak satu pun kesatria yang mampu memanah sasaran berupa satu titik kecil di dalam lubang sempit di pusat cakra yang terus-menerus diputar.

Arjuna yang saat itu menyamar sebagai brahmana maju ke tengah gelanggang. Semula sayembara itu hanya boleh diikuti oleh golongan kesatria, tetapi karena tidak ada kesatria yang mampu memenangkannya, Raja Drupada mempersilakan para pria dari golongan lain untuk ikut.

Panah Arjuna tepat mengenai sasaran, ia memenangkan sayembara dan berhak mempersunting Drupadi.

Pandawa membawa Drupadi menghadap Dewi Kunti, ibu mereka. Sesuai nasihat Dewi Kunti dan sumpah mereka untuk selalu berbagi adil dalam segala hal, Pandawa menjadikan Dewi Drupadi sebagai istri mereka bersama.

Indraprastha

Munculnya Pandawa di muka umum membuat orang tahu bahwa mereka masih hidup. Drestarata memanggil mereka pulang dan membagi kerajaan menjadi dua, untuk Kurawa dan Pandawa. Kurawa mendapat Hastinapura dan Pandawa mendapat Indraprastha. Di bawah pemerintahan Yudhistira, Indraprastha menjadi negeri yang makmur sejahtera dan selalu menegakkan keadilan.

Duryodhana iri melihat kemakmuran negeri yang diperintah Pandawa. Ia menyusun rencana untuk merebut Indraprastha dengan mengundang Yudhistira bermain dadu. Dalam tradisi kaum kesatria, undangan bermain judi tidak boleh ditolak.

Permainan Dadu

Dengan licik Kurawa membuat Yudhistira terpaksa bermain dadu melawan Sengkuni yang tak segan-segan bermain curang hingga Yudhistira tak pernah bisa menang. Yudhistira kalah dengan mempertaruhkan kekayaannya, istananya, kerajaannya, saudara-saudaranya, bahkan dirinya sendiri. Setelah semua yang bisa dipertaruhkannya habis, Yudhistira yang tak kuasa mengendalikan diri mempertaruhkan Dewi Drupadi, istri Pandawa.
Mahabharata : Epos Terbesar Sepanjang Masa
Tragedi Drupadi,
sumber gambar : Iskcon Education Service

Masa Pembuangan

Karena  kalah berjudi, Yudhistira dan saudara-saudaranya serta Dewi Drupadi diusir dari kerajaan. Mereka diharuskan hidup mengembara di hutan selama 12 tahun, lalu pada tahun ketiga belas harus hidup dalam penyamaran selama satu tahun.

Setelah 12 tahun hidup dalam pembuangan, Pandawa hidup menyamar di negeri Raja Wirata. Yudhistira menyamar sebagai brahmana dengan nama Jaya atau Kanka, Bhima sebagai juru masak dengan nama Jayanta atau Ballawa atau Walala, Arjuna sebagai guru tari yang seperti wanita dengan nama Wijaya atau Brihanala, Nakula sebagai tukang kuda dengan nama Jayasena atau Granthika atau Dharmagranthi, Sadewa sebagai gembala sapi dengan nama Jayadbala atau Tantripala atau Aistanemi dan Drupadi sebagai dayang-dayang permaisuri raja dengan nama Sairandhri.

Kembali Dari Masa Pembuangan

Setelah tiga belas tahun mereka jalani dengan penuh penderitaan, Pandawa memutuskan untuk meminta kembali kerajaan mereka. Perundingan dilakukan dengan Kurawa untuk mendapatkan kembali Indraprastha secara damai. Sayang, perundingan itu gagal karena Duryodhana menolak semua syarat yang diajukan Yudhistira. Kemudian kedua belah pihak berusaha mencari sekutu sebanyak-banyaknya. Raja Wirata dan Krishna menjadi sekutu Pandawa, sedangkan Bhisma, Drona, dan Salya memihak Kurawa.

Perang Bharatayuda

Setelah semua usaha mencari jalan damai gagal, perang tidak bisa dihindarkan. Dalam pertempuran di padang Kurukshetra, Arjuna sedih melihat bagaimana sanaksaudaranya tewas di hadapannya. Arjuna ingin tidak berperang. Ia ingin meletakkan senjata.

Untuk membangkitkan semangat Arjuna dan mengingatkan dia akan tugasnya sebagai kesatria, Krishna, sebagai pengemudi keretanya, memberi nasihat mengenai tugas dan kewajiban seorang kesatria sesuai panggilan dharma-nya. Percakapan antara Krishna dan Arjuna itu dimuat dalam Bhagavadgita.

Pertempuran dahsyat antara Pandawa dan Kurawa berlangsung selama delapan belas hari. Darah para pahlawan bangsa Bharata membasahi bumi padang pertempuran. Bhisma, Drona, Salya, Duryodhana dan pahlawanpahlawan besar lainnya, juga balatentara Kurawa musnah di medan perang itu.

Pembalasan Aswathama

Aswatthama, anak Drona, membalas kematian ayahnya dengan masuk ke perkemahan Pandawa di malam hari. Ia membunuh anak-anak Drupadi dan membakar habis perkemahan Pandawa.

Pada akhirnya Pandawa memang menang, tetapi mereka mewarisi janda-janda dan anak-anak yatim piatu karena seluruh balatentara musnah. Aswatthama berusaha memusnahkan Pandawa dengan membunuh bayi dalam kandungan istri Abhimanyu. Berkat kewaspadaan Krishna, bayi itu dapat diselamatkan. Bayi itu lahir dan diberi nama Parikeshit.

Pandawa Moksha

Setelah perang berakhir, Yudhistira melangsungkan upacara aswamedha dan ia dinobatkan menjadi raja. Drestarata yang sudah tua tidak dapat melupakan anakanaknya yang tewas di medan perang, terutama Duryodhana. Walaupun Drestarata tinggal bersama Yudhistira dan selalu dilayani dengan sangat baik, namun pertentangan batinnya dengan Bhima tidak dapat dielakkan.

Akhirnya Drestarata minta diri untuk pergi ke hutan dan bertapa bersama istrinya, Dewi Gandhari. Sesuai janji mereka untuk selalu bersama, Kunti menemani Gandhari pergi ke hutan. Dalam sebuah kebakaran hebat yang terjadi di hutan, mereka musnah dimakan api.

Kedukaan yang mendalam atas kematian sanaksaudara mereka dalam perang membuat hati Pandawa tidak bisa tenang. Akhirnya, setelah menyerahkan takhta kerajaan kepada Parikeshit, cucu mereka, Pandawa meninggalkan ibukota dan pergi mendaki Gunung Himalaya. Seekor anjing menyertai mereka.

Dalam perjalanan ke puncak Gunung Himalaya, satu per satu Pandawa gugur. Roh mereka segera disambut Indra, Hyang Tunggal di surga.

Kesimpulan

Jika di India, konon kisah ini benar-benar terjadi maka melalui pujangga-pujangga Indonesia seperti Mpu Kanwa, Mpu Seda dan Mpu Panuluh, kisah ini dibumbui dengan berbagai kisah tambahan yang sarat makna dan pesan moral.Sehingga terdapat perbedaan antara kisah Mahabharata yang asli dari India dengan Mahabharata versi Indonesia meskipun secara garis besar memiliki persamaan.

Bahkan saking eratnya kisah ini dengan kehidupan masyarakat, khususnya di pulau Jawa, banyak nama tempat atau nama gunung yang diambil dari kisah Mahbharata ini seperti gunung Arjuno, Sapta Arga dan kawah Candra dimuka yang ada di gunung Semeru serta berbagai nama lainnya.

Demikian ringkasan kisah Mahabharata, kisah pewayangan yang sangat terkenal  dan terbesar sepanjang masa di dunia terutama di Indonesia.