Home » » Wayang Kulit : Kesenian Asli Indonesia Yang Masih Lestari

Wayang Kulit : Kesenian Asli Indonesia Yang Masih Lestari

Wayang Kulit : Kesenian Asli Indonesia Yang Masih Lestari – Wayang khususnya wayang kulit merupakan salah satu kesenian asli Indonesia yang masih tetap lestari sampai sekarang ini meskipun semakin bergeser nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Jika dahulu, wayang kulit adalah pertunjukan kesenian yang memberikan ‘tuntunan’ kepada penontonnya maka pada jaman sekarang ini, wayang kulit tidak lebih hanya sebuah ‘tontonan’ atau hiburan belaka.
Wayang Kulit : Kesenian Asli Indonesia Yang Masih Lestari
Wayang Kulit

Dalang yang memegang pakem atau aturan baku pewayangan dimana bobot antara ‘tuntunan’ lebih besar daripada ‘tontonan’ akan lebih sedikit peminatnya dibandingkan dengan dalang yang lebih menonjolkan ‘tontonan’, dalang seperti ini yang akan laris manis di pasaran dan banyak penontonnya.

Meskipun demikian, Wayang Kulit  sampai sekarang masih tetap ada dan tetap lestari walau hanya dapat kita tonton pada hari-hari besar nasional atau pada hajatan perkawinan atau disiarkan oleh televise swasta pada hari-hari tertentu.

Untuk itu, saya mencoba menghadirkan blog Pewayangan Indonesia ini sebagai media untuk melestarikan budaya wayang kulit kepada generasi muda. Pemilihan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar akan memudahkan pembaca dari suku diluar Jawa untuk lebih memahami dan mengerti cerita-cerita yang disampaikan.

Makna Wayang

Dalam bahasa Jawa, kata wayang berarti "bayangan". Jika ditinjau dari arti filsafatnya "wayang" dapat diartikan sebagai bayangan kehidupan atau merupakan pencerminan dari sifat-sifat yang ada dalam jiwa manusia, seperti angkara murka, kebajikan, serakah dan lain-lain.

Wayang Kulit : Kesenian Asli Indonesia Yang Masih Lestari

Kisah kolosal Harjunasasrabahu, Ramayana, Mahabarata dan Baratayudha sampai jaman keemasan Parikesit adalah sebuah kisah karya pujangga yang sering dipentaskan dalam pertunjukkan wayang kulit.

Kisah dalam dunia pewayangan dapat membuat kita selalu bercermin dan mawas diri.

Kisah Ramayana dan Mahbarata, pertama kali dituliskan oleh pujangga India, kemudian pujangga-pujangga Jawa seperti Mpu Kanwa, Mpu Prapanca, Mpu Sedah dan Mpu Panuluh, menuliskannya kembali dalam versi Jawa.

Kisah dalam lakon pewayangan tak ubahnya seperti kehidupan manusia dalam kehidupan nyata, selalu saja bertemu antara kebaikan dan keburukan, kebajikan dan ketamakan serta segala sesuatu yang berpasangan namun bertentangan.

Dalam kisah Ramayana, Rahwana atau Dasamuka menjadi symbol sikap angkara atau kejahatan sedangkan Rama adalah symbol dari kebajikan. Demikian juga dalam kisah Mahabarata, Kurawa adalah simbol dari nafsu angkara dan Pandawa adalah simbol Kebaikan dalam diri manusia. Keduanya bertemu dan berperang hingga akhirnya hanya ada satu pemenang, kebanyakan kebaikan yang selalu menang seperti kalimat yang selalu diucapkan oleh sang Dalang pada akhir pertunjukan.

Sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti” yang artinya kejahatan akan selalu dikalahkan oleh kebaikan.

Wayang adalah salah satu kesenian yang bertutur tentang kehidupan lebih dari sepuluh generasi, ribuan tokoh dan karakter. Tempat berinteraksinya beberapa ras atau bangsa, bangsa dewa, bangsa manusia, bangsa ular, bangsa kera, bangsa samudra, bangsa raksasa, bangsa gandarwa, bangsa jin, bangsa banaspati, yang kesemuanya hidup dalam satu dunia, dunia wayang.

Sejak kecil, kisah-kisah dunia wayang selalu memberikan saya inspirasi dan obsesi tersendiri.
Memberikan ide kepada saya untuk mencoba melihat dan menyelami masing masing tokoh dan karakter secara individu. Kisah tentang keteladanan, kemarahan, kesendirian, kecongkakan, kejujuran, integritas, pengorbanan, kebijaksanaan, kebimbangan, dendam, kekecewaan dan pencarian. Tersaji menjadi semacam sebuah novel.

Pertunjukan Wayang Kulit

Sebagai alat untuk memperagakan suatu ceritera, wayang kulit dimainkan oleh seorang dalang yang dibantu oleh  beberapa orang penabuh gamelan dan satu atau dua orang  waranggana sebagai penyanyinya.

Di samping itu, seorang dalang kadang kadang juga mempunyai seorang pembantu khusus untuk dirinya, yang bertugas untuk mengatur wayang sebelum permainan dimulai dan mempersiapkan jenis tokoh wayang yang akan dibutuhkan oleh dalang dalam menyajikan ceritera.

Fungsi dalang di sini adalah mengatur jalannya  pertunjukan secara keseluruhan. Dialah yang memimpin semua crewnya untuk luluh dalam alur ceritera yang disajikan.  Bahkan sampai pada adegan yang kecil-kecilpun harus ada kekompakan di antara semua crew kesenian tersebut.

Dengan demikian, di samping dituntut untuk bisa menghayati masing-masing karakter dari tokoh-tokoh yang ada dalam pewayangan, seorang dalang juga harus mengerti tentang gending (lagu).

Desain lantai yang dipergunakan dalam permainan  wayang berupa garis lurus, dan dalam memainkan  wayang, seorang dalang dibatasi oleh alas yang dipakai untuk menancapkan wayang.

Dalam pertunjukan wayang dikenal kelompok kanan dan kelompok kiri. kelompok kanan merupakan kumpulan tokoh tokoh atau satria-satria pembela kebenaran dan kebajikan, sedangkan kelompok kiri adalah tempat tokoh-tokoh angkara murka. Walaupun demikian ketentuan ini tidak mutlak.

Untuk memperagakan berbagai setting/dekorasi dan pergantian adegan biasanya dipakai simbol berupa Gunungan.

Dalam menentukan lakon yang akan disajikan seorang dalang tidak bisa begitu saja memilih sesuai dengan kehendaknya. Ia dibatasi oleh beberapa faktor. Diantaranya adalah:

1.  Jenis wayang yang dipergunakan sebagai alat peraga

Jenis wayang akan mempengaruhi lakon yang bisa disajikan lewat wayang-wayang tersebut. Seperangkat wayang kulit misalnya hanya dapat dipakai untuk memainkan ceritera-ceritera dari Mahabarata atau Ramayana. Wayang kulit tidak bisa di pakai untuk menampilkan babad Menak.

Sebaliknya perangkat wayang golek tidak dapat digunakan untuk melakonkan ahabarata, ini dikarenakan tokoh tokoh yang ada dalam wayang-wayang tersebut memang sudah dibuat untuk pementasan lakon-lakon (ceritera-ceritera) tertentu.

2. Kepercayaan masyarakat sekitarnya

Dalam suatu masyarakat, terutama masyarakat pedesaan, yang masih patuh pada tradisi dan adat istiadat peninggalan para leluhurnya, banyak kita jumpai pantangan-pantangan atas suatu lakon tertentu untuk pertunjukan wayang.

Sebagian masyarakat misalnya beranggapan bahwa lakon Bharatayuda tabu untuk dipentaskan dalam upacara perayaan perkawinan. Apabila pantangan ini dilanggar, orang yakin bahwa keluarga tersebut akan mengalami kesusahan. Entah akan ada anggota keluarga yang meninggal, akan terjadi perceraian dalam keluarga tersebut, atau malapetaka lainnya.

Di daerah-daerah pedesaan juga masih banyak kita jumpai upacara-upacara adat yang diselenggarakan dengan pertunjukan wayang. Untuk suatu upacara tertentu, lakon wayang yang dipentaskan juga tertentu.

Pada upacara bersih desa, yaitu selamatan sesudah panen, lakon yang harus dipertunjukkan adalah "Kondure Dewi Sri" (Pulangnya Dewi Sri), sedangkan untuk upacara ngruwat lakonnya adalah "Murwa Kala" atau "Durga Ruwat".

Baca Juga : Misteri Ruwatan Dalam Tradisi Jawa

3. Keperluan diadakannya pertunjukan tersebut

Selain batasan-batasan ini lakon wayang sering kali juga ditentukan oleh permintaan penanggap atau atas kesepakatan antara pihak dalang dan penanggap wayang.

Asal-usul Wayang Kulit

Mengenai asal mula timbulnya wayang di Indonesia pendapat dari beberapa ahli dapat digunakan sebagai pedoman untuk memaparkan hal ini. Salah satu pendapat yang didukung oleh data yang kuat disampaikan oleh Sri Mulyono.

Mengenai timbulnya pertunjukan wayang ini Sri Mulyono berpendapat bahwa pertunjukan wayang kulit dalam bentuknya yang asli, yaitu dengan segala sarana pentas / peralatannya yang serba sederhana, yang pada garis besarnya sama dengan  yang sekarang kita lihat, yaitu dengan menggunakan wayang dari kulit diukir (ditatah), kelir, blencong, kepyak, kotak dan lain sebagainya, sudah dapat dipastikan berasal dan merupakan hasil karya orang Indonesia asli di Jawa, sedangkan timbulnya jauh sebelum kebudayaan Hindu datang.

Pertunjukan wayang kulit ini pada dasarnya merupakan upacara keagamaan atau upacara yang berhubungan dengan kepercayaan untuk menuju "Hyang", dilakukan di malam hari oleh seorang medium (syaman) atau dikerjakan sendiri oleh kepala keluarga dengan mengambil ceritera-ceritera dari leluhur atau nenek moyangnya.

Upacara ini dimaksudkan untuk memanggil dan berhubungan dengan roh nenek moyang guna memohon pertolongan dan restunya apabila keluarga itu akan memulai atau telah selesai menunaikan suatu tugas.

Upacara semacam ini diperkirakan timbul pada jaman Neolithik Indonesia atau pada ± tahun 1500 SM. Dalam perkembangannya kemudian upacara ini dikerjakan oleh seorang yang memiliki keahlian, atau menjadikannya suatu pekerjaan tetap, yang disebut dalang.

Dalam kurun waktu yang cukup lama pertunjukan wayang kemudian terus berkembang setahap demi setahap namun tetap mempertahankan fungsi intinya, yaitu sebagai suatu kegiatan yang berhubungan dengan sistim kepercayaan dan pendidikan.

Berkenaan dengan perkembangan kesenian wayang ini sebagai ibu kota kerajaan Mataram Baru, Yogyakarta telah memberikan tempat hidup yang subur bagi kesenian wayang, sebagaimana tercermin dan didirikannya sekolah dalang Habiranda pada tahun 1925 di kota ini.

Kini para dalang lulusan sekolah Habiranda banyak tersebar di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Mengenai jenis wayang yang dikenal oleh masyarakat Jawa, ternyata ada beberapa jenis yaitu: Wayang Kulit/

Demikian ulasan tentang wayang kulit sebagai salah satu kesenian asli Indonesia yang sampai sekarang masih bertahan ditengah gencarnya serbuan tontonan dan seni budaya dari manca Negara.

Sumber : Berbagai sumber

0 comments:

Post a Comment